Era Keblinger Mendidik
Oleh: Usman Roin *
ADA-hal yang menarik selepas penulis melakukan sunah duha di masjid. Anak-anak kecil yang berkumpul, milenial lagi, entah sedang melakukan apa. Ketika penulis selesai menutup pintu masjid dan melangkahkan kaki ke teras masjid untuk mengambil sandal, tiba-tiba ada satu anak perempuan fasih melantunkan lagu pop dewasa. Bila tidak salah dengar, penyanyinya adalah Andmesh Kamaleng dengan judul “Cinta luar biasa.”
Tentang lirik yang dinyanyikan si anak tersebut adalah potongan bait: ….”Terimalah lagu ini, dari orang biasa; Tapi cintaku padamu luar biasa; Aku tak punya bunga; Aku tak punya harta; Yang ku punya hanyalah hati yang setia; Tulus padamu…”
Dengan merdu anak perempuan tersebut menyanyikan lagu. Hafal di luar kepala lafal bait lagu tersebut. Dalam benak penulis, sungguh anak kecil bila sering mendengar lagu, maka otomatis memori akan merekam, memahat, bahwa ada untaian kata yang di ukir dalam otaknya. Hal ini pas, cocok sekali, dengan kata mutiara Arab yang mengatakan ‘Atta’allum fis Shighori kan Naksi ‘alal Hajari’ yang artinya, belajar di waktu kecil itu bagaikan mengukir di atas batu.
Peristiwa tersebut memperlihatkan apakah kita sebagai orang tua sudah benar dalam mengisi gizi otak anak kita? Atau justru kecanggihan teknologi telah menjadi ‘orang tua’ kedua mereka! Belum lagi bila kita bertanya kepada diri sendiri, sudahkan gizi agama, lewat lantunan ayat-ayat Alquran, coba kita minta kepada anak-anak untuk menghafalkan? Tujuannya agar yang keluar dari mulut mereka tidak hanya lagu pop kekinian, melainkan lantunan ayat suci Alquran guna melahirkan generasi qurani masa depan.
Peristiwa di atas pula, bila ditelaah dengan seksama, menunjukkan pesan penting. Utamanya yang menjadi orang tua tidak lantas selesai begitu saja menjadi orang tua. Yakni, hamil, melahirkan, menyekolahkan, menguliahkan, hingga menikahkan. Melainkan ketika menjadi orang tua, juga memperhatikan conten apa saja yang telah dan akan di-insert-kan kepada anak, utamanya dalam hal agama sebagai bekal dasar hidup di masa mendatang.
Jujur harus diakui, bagi kita yang sudah berusia, religiusitas atau keberagamaan kita bisa menancap dengan baik itu berkat pola asuh orang tua kita semasa kecil dalam mendidik. Mulai dengan mengajak beribadah ke masjid, musala, atau diantarkan ke Taman Pendidikan Alquran (TPQ) untuk belajar membaca Alquran. Alhasil, ukiran pengetahuan agama kita terpahat dengan baik, membekas menjadi karakter religius yang kuat dan bisa kita rasakan hari ini. Pertanyaannya, pernahkan kita melakukan hal yang serupa untuk anak kita?
Lalu, bila kita tengok generasi milenial sekarang, tentu ini menjadi PR bersama. Pertanyaannya, bekal keterampilan apa yang akan diberikan kepada anak kita? Karena jangan sampai kita menjadi orang tua yang keblinger dalam mendidik. Mohon maaf, lebih sayang binatang peliharaan dari pada anak kita sendiri. Contoh kecil yang penulis lihat, ada keluarga yang suka memelihara aneka burung. Sehingga, setiap pagi kala keluarga tersebut bangun, yang dilakukan si bapak pertama kali adalah me-ngopeni aneka burung yang terdapat di sangkar. Mulai dari membersihkan kotoran di bawah sangkar, memandikan dengan cara disemprot, hingga menambah makanan dan menjemur yang dalam bahasa Jawa dinamakan ‘dede’.
Peristiwa kecil di atas adalah hal keliru yang semestinya tidak perlu kita lakukan. Sudah semestinya dibalik. Anak-anak kita kala bangun tidur diperhatikan dahulu. Bila pipis di tempat tidur dibersihkan dan dimandikan hingga bersih. Kemudian setelah bersih diganti bajunya yang wangi, dan suci, hingga kemudian kebiasaan tersebut berlanjut hingga dewasa secara mandiri.
Atau kalau yang sudah dewasa, membangun dan mengingatkan anak untuk salat wajib atau sunah, merutinkan untuk membaca Alquran serta meneladani untuk membaca buku, adalah hal yang perlu dilakukan. Hanya saja prilaku keblinger era zaman now tersebut banyak terjadi. Era sekarang, untuk mengingatkan atau mengajak orang lain lewat group WhatsApp (WA) saja mudahnya minta ampun. Masak mengajak anak, istri, serta keluarga untuk religius menjadi berat, beban. Itu tentu kebalikan yang menyesatkan.
Jika demikian adanya, sudah saatnya orang tua memperhatikan rumah dan keluarganya masing-masing. Terlebih, menurut Prof. H. Abuddin Nata dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam (2010:166), bahwa rumah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam masa awal. Rumah menjadi urgen keberadaannya, pertama, sebagai pendidikan informal dengan penekanan pada pembinaan watak, karakter, kepribadian, dan keterampilan mengerjakan pekerjaan atau tugas-tugas keseharian yang biasa terjadi di rumah tangga. Adapun yang kedua, rumah sebagai pendidikan non formal berkaitan dengan penanaman akidah, bimbingan membaca dan menghafal Alquran, praktik ibadah, dan praktik akhlak mulia.
Dengan demikian, belajar mendidik keluarga kita selama di rumah adalah hal utama. Mulai dari hal-hal terkecil, menyapu, mengepel, mencuci pakaian, memasak agar kelak ketika anak-anak dewasa perilaku tersebut tidak digantikan oleh pembantu. Melainkan anak-anak kita sudah terlatih karena dilatih sejak dini di rumah. Keberadaan rumah dijadikan sebagai laboratorium terdekat, hingga karakter tersebut turun temuran dan tidak terpenggal di tengah generasi. Jika hal itu sampai terjadi, berarti ada era keblinger dalam mendidik yang tidak kita sadari. Semoga tulisan kecil menjadi renungan bersama!
*Penulis adalah Guru Ekskul Jurnalistik SMP Islam Terpadu PAPB Semarang & alumnus UIN Walisongo.
Ilustrasi Gambar: Mokhamad Malikul Alam