Ingatan Kita dan Lomba Agustusan
Oleh: Mokhamad Malikul Alam *
GELAP-pandangku usai sepasang mata ini tertutup kain. Tangan kanan memegang sebuah tongkat kira-kira sepanjang dua langkah kaki orang dewasa. Aku berjalan pelan-pelan sambil meraba-raba udara, mengira-ngira arah. Bergerak maju menuju air bening dalam plastik yang tergantung di tengah halaman. Aku ayunkan tongkat. Sekali, dua kali, tiga kali, kemudian “Pyar”, terbebaslah air itu. Merdekalah sumber kehidupan. Merekah bulir-bulir air melayang di udara sebelum jatuh dan meresap ke dalam tanah. Air sebagai pemberi hidup dan menjadi harapan tumbuh kembangnya tunas dan bunga-bunga di atas tanah. Kemudian, sorak sorai penonton menggelegar. Lomba pukul air selesai. Pemenang telah ditentukan.
Barangkali seperti itu kemerdekaan. Ada jiwa-jiwa juang yang gigih yang kita rasakan meski masa depan tampak suram tetapi kita tetap melangkah maju meski berpegang pada kemungkinan-kemungkinan. Mungkin gagal atau mungkin berhasil. Saat sekiranya yakin sudah hampir mencapai yang diharapkan kita menyalakan api dalam hati kemudian memecahkan yang menjerat kemerdekaan. Lalu, kemenangan untuk kita.
Sebelum menginjak hari kemerdekaan kita agendakan perayaan penuh perlombaan dan kebahagiaan. Biasanya ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, tarik tambang, balap karung, pukul air, dan sebagainya. Namun yang disayangkan, kita hanya merayakannya dengan suka cita. Kita luput untuk menghayatinya. Membangun ingatan kembali tentang sejarah perjuangan para pahlawan mencapai kemerdekaan sudah jadi nomor sekian.
Tentu kita tahu, ingatan kerap kali pudar atau barangkali kita lalai untuk mengingat masa lalu itu. Seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad dalam esai di catatan pinggir Majalah Tempo Edisi Kamis 16 Agustus 2012 berjudul Origami: “Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembab atau menguning”. Bahkan mungkin kertas (ingatan) itu bakal pudar oleh zaman atau dilumat serangga rayap.
Baca juga: Nabi Ibrahim dan Bukti Ketaatan pada Tuhan
Coba kita tengok situs kompas.com (13/08/2019): Pada sekitar tahun 1950-an Indonesia secara ramai memulai perayaan lomba 17 Agustusan hingga sekarang. Hal itu dikarenakan tahun tersebut intensitas pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan mulai menurun. Dengan diadakan perlombaan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan ingatan tentang perjuangan masa lalu sehingga dapat meningkatkan semangat generasi bangsa dalam berjuang.
Namun kebahagiaan, memang kadang jadi kekecewaan untuk orang lain. Mungkin ketika kita tengah merayakannnya dengan perlombaan dan upacara dengan gembira tetapi ada beberapa arwah pahlawan yang sedikit mengeluh; Merayakan kemerdekaan tak sekadar itu, Bung. Perjuanganmu masihlah panjang. Jangan sampai terlena dalam kebahagiaan. Kadang luka atau peristiwa luka justru yang mendewasakan bangsa kita!
Dalam perlombaan agustusan, kita tidak sekadar belajar menjadi rendah diri dalam kemenangan atau bersikap menerima dalam kekalahan. Barangkali kita bisa memaknai apa yang tersembunyi di balik perlombaan itu. Atau setidaknya mengingat kembali darah, keringat, dan air mata para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan sehingga hasilnya bisa kita rasakan sekarang ini dan generasi seterusnya. Semoga saja kemerdekaan bangsa ini semakin semerdeka-merdekanya. Merdeka dari rasa lapar. Merdeka dari teror dan tidak aman. Pun merdeka berpendapat tanpa ada permusuhan.
Selamat Ulang Tahun Republik Indonesia Ke-74. Ah, bukan. Selamat Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia. Merdeka!
* Penulis adalah guru Bahasa Indonesia SMP Islam Terpadu PAPB Semarang dan penulis puisi/cerpen. Bisa disapa di posel malikulalam777@gmail.com dan katamukita.blogspot.com.
Editor Bahasa: Tri Wahyuni
Ilustrator Gambar: Mokhamad Malikul Alam
Tag:agustusan, HUT ke 74 RI, merdeka