Membumikan Diskusi Sehat ala Guru
![Membumikan Diskusi Sehat ala Guru 1 20190711 0939311](https://smpislampapb.sch.id/wp-content/uploads/2019/07/20190711_0939311.jpeg)
Oleh: Usman Roin *
BELUM-lama ini, penulis mendapatkan pengalaman luar biasa. Sebelumnya ada rasa pesimistis untuk mengampanyekan literasi dari someone. Bahwa sikap tersebut akan berpengaruh ke depannya. Misalnya ketika kita berusaha mengajak seseorang, sedangkan ajakan belum dilontarkan kita sudah pesimis dahulu. Ini artinya ada semacam komunikasi yang terputus antar teman. Padahal bisa jadi ketika kita ‘coba’ menyampaikannya lebih dahulu responnya malah bisa berbalik arah, dari apriori menjadi responsif.
Meski begitu, rasa optimis coba tetap penulis lakukan. Menjaring dan melakukan pendekatan vis a vis itu pada intinya. Caranya dengan mendekati rekan guru yang punya semangat tinggi untuk berjuang. Punya semangat untuk membesarkan literasi di sekolah.
Satu sisi gerakan literasi punya fungsi membesarkan institusi dan sisi yang lain mem-branding SDM-nya agar memiliki potensi yang unggul. Terlebih, tidak selamanya kita menjadi guru di lembaga formal. Justru dengan kesempatan saat berprofesi sebagai guru, akan sungguh merugi bila skill menulis tidak dipelajari.
Saking optimisnya terhadap literasi, penulis tidak lupa diskusi dengan guru bahasa Indonesia yang baru, berinisial “W” dan “M”. Artinya baru penulis kenal dan baru menjadi pengganti guru yang lama. Diskusi sederhana yang tidak direncanakan ini punya tujuan untuk menyamakan persepsi. Bahwa membangun literasi itu akan mudah bila dilakukan berjamaah. Apalagi telah lahir buku baru, Yang Melangit Dari Kata: Kumpulan Kata Mutiara SMP IT PAPB Semarang (2019), tentulah kita justru harus mendukung dan punya rasa memiliki.
Dalam diskusi tersebut, penulis juga sampaikan masukan untuk guru bahasa Indonesia agar pembelajaran (puisi, cerpen, pantun dan lainnya) dioptimalkan. Direncanakan dengan baik, agar hasil pembelajaran tersebut bernilai jangka panjang. Yakni, bisa dibukukan sebagai bukti bahwa kegiatan literasi yang ada bukan sebatas membaca, atau menulis—karena tugas menyalin buku—melainkan membiasakan menulis bebas (free writing).
Dari obrolan santai itu juga timbul ide. Ide tentang bagaimana kalau guru mengadopsi sebuah perjuangan seorang guru membangun literasi seperti di film freedom writer (2007) yang disutradarai oleh Richard LaGravenese. Dalam cerita singkat yang dipaparkan oleh guru berinisial “L”, agar siswa dibiasakan membuat catatan harian secara bebas. Di luar dugaan, hal itu punya fungsi membangun literasi anak, yang tidak sekadar diajarkan membaca dan memahami. Melainkan juga menuliskan persoalan yang dipahami walau hanya beberapa kata, bebas sebebas-bebasnya.
Penulis juga tidak lupa memaparkan gagasan bahwa untuk membangun literasi itu langkah awalnya perlu dibuat secara berjamaah. Artinya konsep penerbitan dalam bentuk antologi/kumpulan/himpunan. Penerbitan buku perlu dilakukan berjamaah dahulu. Jika secara jamaah sudah terwujud, maka dibuat dalam bentuk peer group. Ini artinya kelompok penghasil karya tulis, dibuat jumlahnya lebih sedikit. Sehingga ini membuat peer group fokus dan bersungguh-sungguh untuk menghasilkan karya tulis.
Setelah pecahan peer group berhasil, maka dalam komunitas tersebut dipecah kembali dalam peer group yang anggotanya lebih kecil lagi. Hingga akhirnya secara individu bisa menghasilkan karya (buku) sendiri. Hal ini merupakan ending dari proses membangun literasi tingkat lembaga pendidikan.
Lalu apa manfaat literasi untuk sekolah?
Hemat penulis, keberadaan literasi di sekolah mempunyai manfaat sebagai berikut:
Pertama, mempersiapkan SDM melek informasi. Karena objek pendidikan adalah siswa, maka mempersiapkan mereka melek pengetahuan adalah hal yang mesti dilakukan. Lalu, apakah hanya guru bahasa Indonesia yang bertanggung jawab? Kalau secara teori linguistik, tentu tata tulis anak agar menjadi benar sepertinya guru bahasa Indonesia yang bertanggung jawab. Adapun terkait dengan mempersiapkan siswa yang melek pengetahuan merupakan tanggung jawab seluruh guru mapel, serta guru ekstrakurikuler sebagai penambah keterampilan siswa.
Selain kepada siswa, kebermanfaatan SDM yang unggul juga akan diperoleh oleh para guru yang ingin menulis. Artinya, catatan selama berprofesi sebagai guru akan nihil sebab tidak punya karya. Hanya akan mengenang bahwa pernah punya siswa yang berprestasi, atau yang nilai UN-nya bagus. Justru bila guru ikut terlibat dalam hal menulis, itu akan meningkatkan keterampilan linguistik. Guru bisa berbangga diri, membuktikan bahwa dari ruang sempit profesi guru—bila punya karya—akan meluaskan eksistensinya. Lebih-lebih bila kemudian sudah pensiun menjadi guru, baik yang menjadi ayah atau ibu rumah tangga. Literasi yang dipelajari selama berprofesi sebagai guru akan menjadi jalan pembuka untuk tetap eksis melahirkan karya yang serupa.
Kedua, literasi digalakkan untuk mem-branding lembaga agar tampak semakin berkualitas. Lalu dari mana melihatnya? Jawabnya sederhana, yaitu dari produk literasi yang dihasilkan. Bisa dalam bentuk buku, majalah, pemberitaan koran. Hal ini bisa membantu membangun opini publik bahwa sekolah ini didesain bukan hanya sekadar meluluskan para siswa. Melainkan mengolah input yang ada, diproses melalui pembelajaran, hingga kemudian output-nya melahirkan karya sebagaimana di atas. Apalagi, tidak banyak sekolah—di semua jenjang yang ada—fokus pada produk literasi.
Ulasan tematik literasi baca: Guru Nulis
Dari hal tersebut, sebuah diskusi ringan dari, oleh, dan untuk guru—tentang literasi—
berbuah program aksi dan perlu dibumikan. Selanjutnya tinggal menunggu, apakah semua stakeholder lembaga pendidikan yang ada ikut nyengkuyung bareng-bareng program literasi? Kita tunggu, butuh bukti one by one dari stakeholder pendidikan yang ada!
* Penulis adalah Guru Ekskul Jurnalistik SMP Islam Terpadu PAPB Semarang, Editor Buku “Yang Melangit dari Kata: Kumpulan Kata Mutiara SMP IT PAPB Semarang,” Editor Buku “42 Renungan Inspiratif Kehidupan,” Editor serta Penulis Buku “Menjadi Guru: Sehimpun Catatan Guru Menulis,” Penulis Buku “Langkah Itu Kehidupan: 5 Langkah Hidup Bahagia,” Pengurus Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Jawa Tengah, Koord. Devisi Komunikasi & Hubungan Media Majelis Alumni IPNU Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.
Editor Bahasa: Mokhamad Malikul Alam
Ilustrator Gambar: Mokhamad Malikul Alam