Meneladani Rasul: Merawat Kebhinnekaan, Membangun Indonesia

Oleh: Mohamad Bagus Kholid Z. *
BULAN-Rabiul Awal, atau orang jawa menyebutnya Mulud adalah bulan yang dinanti-nantikan dan dimuliakan oleh umat muslim di berbagai penjuru nusantara. Di bulan inilah Rasulullah SAW dilahirkan. Hal itu menjadi momentum yang tepat bagi kita untuk bertafakur mengenai pribadi mulianya. Kemudian kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya mengenai kearifan beliau dalam mengelola kebhinnekaan.
Rasulullah SAW merupakan suri tauladan yang paling utama, sebagaimana disabdakan dalam Al-Quran: Laqod kaana lakum fii rosuulilllaahi uswatun hasanah. Kemudian Rasul SAW diutus menjadi rahmat bagi sekalian alam: wamaa arsalnaakaillaarohmatan lil‘aalamin. Maka merupakan hal yang tepat jika kita meneladani Rasul dalam kehidupan sehari-hari, baik kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Termasuk bagaimana kita menyikapi kebhinnekaan yang dialami bangsa Indonesia, agar tidak timbul suatu madharat (kerugian) dan mafsadat (kerusakan) yang besar.
Kebhinnekaan, di satu sisi merupakan potensi dan di sisi lainnya menjadi ancaman. Kebhinnekaan akan menjadi potensi apabila dirawat dengan baik sehingga menimbulkan suatu kekuatan yang besar dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Kebhinnekaan akan menjadi ancaman jika tidak dirawat dengan baik, yang akan menimbulkan perpecahan kemudian berujung kehancuran.
Setelah berdakwah selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah SAW hijrah ke Kota Yasrib—Yasrib merupakan nama orang yang mendirikan kota tersebut. Kota Yasrif berpenduduk majemuk, yakni muslim lokal yang disebut dengan Anshor, muslim pendatang yang dinamakan Muhajirin, dan pemeluk Yahudi sendiri terdapat tiga suku, serta masih terdapat golongan lain dalam jumlah kecil. Setelah mengetahui kemajemukan masyarakat Yasrib, Rasulullah menggunakan istilah ukhuwah madaniyah, yakni persaudaraan untuk seluruh penduduk. Semua sama kedudukannya dalam hukum. Siapapun yang bersalah, dengan tidak melihat sukunya, harus dihukum. Inilah yang dinamakan tamaddun. Maka kemudian nama Yasrib diubah menjadi Madinah, yang mengandung makna kota yang sudah menggunakan nilai-nilai universal.
Keuniversalitasan Madinah di antaranya tercermin dalam Piagam Madinah dengan 47 pasalnya. Yang mana untuk membuat Piagam Madinah, Rasulullah SAW bertemu dengan seluruh pimpinan suku dan kemudian menghasilkan kesepakatan. Lihat Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisam, dari 47 pasal tersebut tidak ada kata Islam, tidak satupun mengutip Al-Qur’an. Prinsip-prinsip universal saja yang digunakan. Dalam Pasal 15 disebutkan, semua agama diberi kebebasan menggunakan agamanya masing-masing.
Hal ini bukan sekadar hitam di atas putih belaka. Akan tetapi supremasi hukum di masa Rasulullah benar-benar berjalan dengan baik. Terbukti ketika ada orang Islam yang membunuh Yahudi kemudian menjadikan konflik di tengah masyarakat, Nabi marah dan berkata, “Barangsiapa yang membunuh orang non muslim, maka ia berhadapan dengan saya. Saya pengacaranya.” Akhirnya Rasulullah terpaksa mencari para donor untuk menyumbang ahli waris Yahudi tersebut sebagai ganti rugi. Sungguh luar biasa apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dalam merawat kebhinnekaan agar tercipta kondisi masyarakat yang aman dan damai.
Di waktu yang lain, ketika ada jenazah lewat, Rasulullah berdiri untuk menghormatinya. Ketika diberitahu bahwa jenazah tersebut merupakan orang Yahudi, dijawab oleh Rasulullah, “Ya, saya tahu ini jenazahnya orang Yahudi”.
Sebagaimana Indonesia yang kondisinya lebih multikultural dari Madinah, maka kita harus lebih serius dalam meneladani dan menerapkan akhlak dan merawat kebhinnekaan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Hal ini agar tercipta kehidupan yang aman dan damai. Karena dengan keadaan negara tersebut kita dapat dengan kondusif melakukan berbagai aktifitas, baik yang berupa hablunminallah maupun hablunminannas. Sehingga moralitas dan produktivitas masyarakat Indonesia akan meningkat sehingga mendorong kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
*Penulis adalah Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) SMP Islam Terpadu PAPB Semarang
Editor Bahasa: Mokhamad Malikul Alam
Ilustrasi Gambar: Mokhamad Malikul Alam
Tag:Kebhinnekaan, Rasulullah, Tauladan