Mengharmoniskan Logika, Etika dan Estetika
Oleh: Rita Oktaviana Ulfah, S.Pd.
(Guru Bahasa Indonesia SMP Islam Terpadu PAPB Semarang)
DALAM-kehidupan ini banyak hal yang harus kita miliki dan pelajari. Berbagai hal itu dapat kita rampingkan atau fokuskan pada hal-hal penting yang harus ada dalam diri kita. Tiga hal penting itu menurut penulis adalah soal logika, etika, dan estetika yang seharusnya bisa kita miliki dan terapkan dalam hidup secara harmoni/seimbang. Jika memiliki ketiga hal itu, langkah menjadi lebih tepat, bijak, dan menyenangkan dalam menyikapi perjalanan hidup kita.
Perihal logika hakekatnya membahas tentang nilai kebenaran. Sedangkan tentang etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia. Adapun perihal estetika yakni membahas mengenai keindahan/seni yang dapat melengkapi perihal pertama dan kedua agar hidup lebih berwarna. Maka, ketiga hal tersebut dapat diberikan istilah lain yaitu ’nilai’.
Oleh karena itu, bagi penulis nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula. Hal tersebut karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Jadi, mengapa kita tidak mencoba menyeimbangkan ketiganya? Alangkah indahnya jika kita bisa mengaharmonisasikan atau menyelaraskan ketiga hal yang sudah tak asing lagi bagi kita ini.
Perihal logika, seperti yang kita ketahui, kebenaran itu sangatlah penting menjadi prinsip hidup kita. Karena dengan melakukan hal/sesuatu yang benar dalam hidup, terkadang kita sudah merasa baik dari segi pengetahuan, agama, dan ajaran. Akan tetapi, apakah sudah cukup dengan berpegang teguh pada nilai kebenaran saja kita peruntukkan kehidupan kita ini? Oleh karena itu, hidup yang cukup kompleks dalam segala aspek yang melingkupinya apakah nilai etika dan estetika tak lagi mendapatkan tempat yang sama, sejajar, dan linear untuk berdampingan dengan nilai yang didasarkan dengan perihal yang selalu logis?
Atas dasar itulah, artikel yang penulis tulis ini akan membahas mengenai hal logika, etika, dan estetika dalam dunia pendidikan. Gambarannya, sudah terjadi pergeseran paradigma pendidikan dari pendidikan yang menganut paham untuk membentuk karakter budi pekerti anak. Tetapi pada gilirannya kemudian kita menganut paham pendidikan untuk melakukan transfer pengetahuan pada anak didik kita saja.
Lalu, cara atau metode guru pun dalam mengajar kurang memahami dengan minat atau karakter anak didiknya. Terkadang pula, anak didik merasa seperti dipaksa atau sering dilarang-larang, bahkan ada yang ditindak kekerasan untuk menertibkan perilaku anak yang hanya berlandaskan teori kebenaran. Mereka dapat merasa terkekang, dihakimi, dan tidak leluasa untuk menggali dan mengembangkan bakat/potensi mereka.
Pertanyaannya, tidakkah kita terketuk untuk memulai kembali pendidikan dengan semangat kecintaan, saling menghormati, saling menyayangi, dan saling asah-asuh? Tidakkah kita ingin mengembalikan pendidikan sebagai proses pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai!
Sebab itulah, perihal etika sangat diperlukan untuk membentuk karakter/sikap anak didik yang sudah diberi bekal pengetahuan dan kecerdasan akademik. Atmosfer pendidikan karakter yang merasuk dalam keseharian interaksi guru-siswa, tentu akan membalikkan krisis pekerti dan spiritualisme.
Pragmatisme yang diterapkan para manajer pendidikan, sekilas memang mencapai prestasi sebagaimana yang diharapkan pemerintah, tetapi sungguh akan merusak karakter bangsa. Kita membentuk karakter manusia yang menyukai jalan pintas, keuntungan – keuntungan yang bersifat sementara, tanpa peduli dengan penderitaan orang lain.
Oleh karena itu, sering terjadi budaya contek-menyontek antarsiswa dan kecurangan lainnya –hanya ingin mendapatkan nilai tinggi– serta menumbuhkan sikap egoisme antarsesama untuk mengejar prestasi dan gengsi yang sama sekali tidak menghantarkan mereka berhasil/sukses pada potensi/ bakat mereka sendiri.
Sebagaimana Sokrates, mestinya guru membelajarkan ”yang benar” (logika) dan ”yang baik” (etika) sebagai nilai-nilai objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang.
Jangan dibiarkan anak didik mengembangkan pengalaman – pengalamannya sendiri yang menyimpang dari etika dan humanisme. Jadikanlah sekolah sebagai proses pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik. Dengan demikian, mereka menjadi manusia yang memiliki keadaban (civility) yang mengembangkan kecerdasan sosial, spiritual dan moral.
Kekuatan pembelajaran etika (sikap yang baik) dan estetika (keindahan) akan mengembalikan para siswa menjadi manusia yang memiliki nilai humanisme dan cita rasa keindahan, yang biasanya dekat dengan pencerahan jiwa. Ini mencegah kebrutalan. Menjauhkan para siswa dari perilaku sadis dan meretas ikatan-ikatan jaringan geng yang terselubung dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu, perihal estetika pun penting dan perlu dalam membentuk karakter dan pengetahuan anak didik maupun guru dalam berkomunikasi dan bersosialisasi dalam kehidupan ini khususnya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang benar, baik, dan menyenangkan.
Jika kita menanamkan nilai kebenaran/pengetahuan tentunya kita harus membelajarkan dengan sikap yang baik, sopan, beradab, tanpa kekerasan, paksaan, kecaman yang akan membuat diri anak tidak rela/ikhlas dalam belajar sehingga terkadang mereka brutal di luar pengawasan sebagai luapan protes mereka/ ketidaknyamanan.
Selain itu, nilai keindahan/estetika juga ikut mengiringi agar seseorang mudah menerima nilai kebenaran, aturan yang disepakati dengan rela, baik, dan berkelanjutan baik dalam pengawasan maupun di luar pengawasan. Jadi, kita sebagai para orang tua dan guru tidak perlu khawatir dengan sikap anak jika kita sudah membekalinya dengan mengharmonisasikan ketiga hal itu, itulah yang dinamakan kepercayaan akan terbentuk dengan sendirinya. (usman/ed-17)