Menjadi Guru di Era Milenial

Oleh: Tri Wahyuni, S.S. *
ISTILAH-Industri 4.0 pertama kali diperkenalkan saat Hannover Fair 2011 yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang keempat adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggih dan berpengaruh besar terhadap produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent), perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot.
Era macam inilah yang sedang kita hadapi dan diperbincangkan. Sebagai masyarakat konsumen informasi, kekayaan tidak lagi harus mempunyai lahan yang luas, tenaga kerja yang melimpah, dan modal biaya yang besar. Saat ini, kita sedang berada pada era di mana perusahaan ojek, tidak mempunyai kendaraan. Toko baju, elektronik, dan sebagainya, tetapi sebagai penjual tidak perlu mempunyai atau stok barang-barang tersebut. Modal dan biaya produksi di era informasi sudah berubah. Artinya, orang kaya saat ini bisa dimiliki oleh orang yang hanya perlu sedikit lahan, sedikit tenaga kerja, dan juga modal biaya yang juga sedikit.
Era inilah yang disebut sebagai era digital atau era informasi. Era yang memunculkan pemuda enterpreuner seperti Nadiem Makarim: CEO Gojek, Ahmad Zaky: CEO Bukalapak, Abdul Wahab: CEO Santri Online, dan sebagainya. Era ini akrab dengan penghuninya, yaitu generasi milenial. Di tangan Milenial, dunia berubah. Seperti dari tangan Mark Zuckerberg yang kini berumur 32 tahun facebook lahir dan menjelma salah satu media sosial terbesar paling berpengaruh yang pernah ada.
Seperti dikutip dari artikel Tirto, Generasi Milenial, yang juga punya nama lain Generasi Y, adalah kelompok manusia yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi ini diembuskan pertama kali oleh Karl Mannheim pada 1923. Dalam esai berjudul The Problem of Generation, sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusia-manusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama.
Saat ini, memang sekolah sudah seharusnya menyiapkan kedatangan revolusi digital itu. Ada sedikit cerita dari penulis yang diambil dari satu kasus yang diceritakan oleh seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Semarang. Singkat cerita, pada suatu hari ketika ia masuk kelas, seperti biasa, ia menanyakan terlebih dahulu apakah anak-anak sudah siap menerima pelajaran yang akan disampaikan. Namun, guru itu cukup terhentak dengan adanya interupsi dari seorang siswa. Siswa itu bernegosiasi kepada sang guru bahwa pada pertemuan itu, ia tidak bersemangat dan lesu ketika belajar dengan sang guru di kelas. Ia mengatakan lebih memilih belajar di rumah dengan menggunakan aplikasi ”Ruang Guru” yang ada di ponselnya. Fenomena itu, kiranya adalah satu kasus yang lambat laun akan dihadapi oleh guru di dalam kelas.
Dari kasus tersebut, apakah mungkin bahwa tesis guru akan digantikan oleh teknologi akan terjadi? Jika guru tidak mempersiapkan kedatangan revolusi digital itu, bukan hanya dikalahkan oleh teknologi, guru juga akan dikalahkan oleh anak didiknya. Lihatlah kedekatan generasi Z dengan teknologi. Dari sejak dalam kandungan, mereka sudah akrab dengan kamera ibu yang hobi swafoto. Bahkan, ketika anak mereka lahir, anak-anak itu sudah dibuatkan akun media sosial untuk menyimpan foto-foto dan beberapa hal lainnya. Hasilnya, fenomena kecanduan gawai sudah tidak asing lagi. Anak-anak lebih memilih curhat dengan media sosialnya daripada dengan orangtuanya. Bahkan, anak-anak lebih mendengarkan gawai daripada omongan orangtuanya. Pertanyaan yang muncul, bagaimana seorang guru bersikap dalam menghadapi era milenial seperti saat ini?
Guru dan institusi pendidikan harus mempersiapkan kedatangan generasi baru itu. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan pendidikan dalam menyambut generasi digital, antara lain:
Pertama, mengenal siswa lebih dalam adalah dasar dari seorang guru. Pendidik sudah seharusnya mengetahui karakteristik siswa abad 21. Kita tidak bisa memaksakan siswa untuk kembali ke masa di mana guru dilahirkan dan ditempa. Guru yang sepatutnya memiliki karakter guru abad 21 mengikuti perkembangan zaman siswanya. Keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills) yang terdiri dari (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi.
Kedua, inovasi paradigma pembelajaran yang dapat dilakukan yaitu pengembangan pembelajaran otentik. Merujuk pengertian pembelajaran dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 mendefinisikan bahwa: “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Lingkungan belajar abad 21 perlu dikembangkan melalui sistem instruksional yang harus mempertimbangkan konteks lingkungan eksternalnya yang lebih luas dari sekadar lingkup kelas atau sekolah. Artinya, guru di sekolah harus menciptakan tujuan pembelajaran yang mampu membangun kompetensi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan di masa depan.
Ketiga, perlu adanya redefinisi manajemen kelas. Paradigma pendidikan era milenial mendorong kesetaraan antara guru dan siswa dalam hal mengelola informasi pembelajaran. Jika saat ini masih berkeyakinan bahwa guru sebagai sumber belajar, itu salah besar. Mungkin benar guru akan digantikan oleh teknologi, tetapi tidak sepenuhnya. Teori Benyamin S. Bloom yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini yaitu kategori kognitif, afektif, dan psikomotorik belum sepenuhnya dapat diajarkan oleh teknologi. Afektif dan psikomotorik menjadi kategori yang masih dan akan tetap perlu ‘tangan’ seorang guru.
Pada akhirnya, guru sebagai pilar keteladanan bagi siswa tidak dapat digantikan oleh teknologi, karena pendidikan bukan hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang beradab. Sososk guru yang beradab inilah yang diperlukan sebagai mata air keteladanan. Karena guru yang baik bukan yang sekadar pintar, tetapi juga mampu menginspirasi. Selamat bertugas. Selamat menjadi guru cerdas di era milenial.
* Penulis adalah guru Bahasa Indonesia SMP Islam Terpadu PAPB Semarang.
Editor Bahasa: Mokhamad Malikul Alam
Ilustrator Gambar: Mokhamad Malikul Alam