Perintah Berperilaku ‘Iffah
Oleh: M. Sirojudin *
SECARA-bahasa, ‘iffah adalah menahan. Adapun secara istilah menahan yang dimaksud adalah menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan walaupun jiwanya cenderung kepada perkara tersebut dan menginginkannya.
Tentang perintah ‘iffah hal ini sebagaimana firman Allah surah An-Nur:33 yang artinya “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” Hal senada juga bisa dilihat pula pada firman Allah Swt surah Al-Baqarah:273.
Berkaitan dengan ‘iffah pula, Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Hadits yang agung ini terdiri dari empat kalimat yang singkat, namun memuat banyak faedah lagi manfaat.”
Pertama, ucapan Nabi Muhammad Saw yang artinya “Siapa yang menjaga kehormatan dirinya – dengan tidak meminta kepada manusia dan berambisi untuk beroleh apa yang ada di tangan mereka – Allah ta’ala akan menganugerahkan kepadanya ‘iffah.”
Kedua, ucapan Nabi Muhammad Saw yang artinya “Siapa yang merasa cukup, Allah ta’ala akan mencukupinya (sehingga jiwanya kaya/merasa cukup dan dibukakan untuknya pintu-pintu rezeki).”
Adapun usaha yang bisa di tempuh untuk mewujudkan kesempurnaan seorang hamba ada pada keikhlasannya kepada Allah ta’ala, dalam keadaan takut dan berharap serta bergantung kepada-Nya saja, tidak kepada makhluk adalah dengan memaksa jiwanya untuk memalingkan jiwanya dari ketergantungan kepada makhluk dengan menjaga kehormatan diri sehingga tidak berharap mendapatkan apa yang ada di tangan mereka, hingga ia tidak meminta kepada makhluk, baik secara lisan (lisanul maqal) maupun keadaan (lisanul hal).
Terkait ini, Rasulullah Saw bersabda kepada Umar radhiyallahu ‘anhu “Harta yang mendatangimu dalam keadaan engkau tidak berambisi terhadapnya dan tidak pula memintanya, ambillah. Adapun yang tidak datang kepadamu, janganlah engkau/menggantungkan jiwamu kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 1473 dan Muslim no. 2402)
Artinya, memutus ambisi hati dan meminta dengan lisan untuk menjaga kehormatan diri serta menghindar dari berutang budi kepada makhluk serta memutus ketergantungan hati kepada mereka, merupakan sebab yang kuat untuk mencapai ‘iffah.
Lalu, sebagai penyempurna perkara di atas adalah memaksa jiwa untuk melakukan hal kedua, yaitu merasa cukup dengan Allah ta’ala, percaya dengan pencukupan-Nya. Siapa yang bertawakal kepada Allah ta’ala pasti akan dicukupi-Nya. Inilah yang menjadi tujuan.
Bila yang pertama memiliki maksud sebagai perantara kepada yang kedua ini, karena orang yang ingin menjaga diri untuk tidak berambisi terhadap yang dimiliki orang lain, tentu ia harus memperkuat ketergantungan dirinya kepada Allah ta’ala, berharap dan berambisi terhadap keutamaan Allah ta’ala dan kebaikan-Nya, serta memperbaiki persangkaannya dan percaya kepada Rabbnya.
Terlebih, Allah ta’ala itu mengikuti persangkaan baik hamba-Nya. Bila hamba menyangka baik, ia akan beroleh kebaikan. Sebaliknya, bila ia bersangka selain kebaikan, ia pun akan memperoleh apa yang disangkanya. Jadi, setiap hal di atas meneguhkan yang lain sehingga memperkuatnya. Semakin kuat ketergantungan kepada Allah ta’ala, semakin lemah ketergantungan terhadap makhluk. Demikian pula sebaliknya.
Adapun ketiga, ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya “Siapa yang menyabarkan dirinya, Allah ta’ala akan menjadikannya sabar.” Sedangkan yang keempat, bila Allah ta’ala memberikan kesabaran kepada seorang hamba, itu merupakan pemberian yang paling utama, paling luas, dan paling agung, karena kesabaran itu akan bisa membantunya menghadapi berbagai masalah. Hal ini sebagaimana firman Allah surah Al Baqarah:45 yang artinya “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” Yang maknanya dalam seluruh masalah kalian.
Terkait dengan macam kesabaran sendiri, bisa penulis uraikan kesabaran dalam taat kepada Allah ta’ala, sehingga bisa menegakkan ketaatan tersebut dan menunaikannya; kesabaran untuk menjauhi maksiat kepada Allah ta’ala, sehingga ia bisa meninggalkannya karena Allah ta’ala; sabar dalam menghadapi takdir Allah ta’ala yang menyakitkan sehingga ia tidak menyalahkan/murka terhadap takdir tersebut; sabar menghadapi nikmat-nikmat Allah ta’ala dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa sehingga tidak membiarkan jiwanya bangga dan bergembira yang tercela. Malahan, ia justru menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah ta’ala.
Demikianlah, kita sebagai membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaan. Dengan sabar, akan diperoleh keuntungan dan kesuksesan. Bahkan Allah ta’ala menyebutkan ahlul jannah (penghuni surga) bagi kita yang senantiasa sabar dengan firman-Nya sudah Ar Ra’d:23-24, Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Akhirnya, semoga kita bisa menjadi orang yang menahan diri atau ‘iffah dari perkara-perkara yang dilarang oleh Allah Swt. Amin ya rabbal ‘alamin.
* Penulis adalah Guru BTAQ SMP Islam Terpadu PAPB Semarang
Editor Bahasa: Usman Roin
Ilustrasi Gambar: Mokhamad Malikul Alam
Tag:‘iffah, menahan diri