Pudarnya Empati dan Sensitivitas Sosial

Oleh: Lyla Uluwwi Syarfiyah, S.Pd. *
SEPERTI-biasa, pagi itu penulis melaju ke tempat kerja dengan sepeda motor kesayangan. Baru saja keluar beberapa gang dari rumah jalanan sudah mulai macet. “Perasaan sudah berangkat lebih pagi. Eh, masih kena macet juga,” gerutu penulis dalam hati. Para pengguna jalan lain tidak sabar, klakson saling memaki meminta siapapun di depan lekas menyingkir.
Di tengah jembatan penulis menemukan ada seorang ibu muda penjual sayur, ada penjual ayam potong, lontong sayur, nasi rames, kue pukis dan banyak lagi. “Bagaimana tidak macet, kalau jembatannya beralih fungsi seperti ini?” gumam penulis. “Enggak pagi enggak sore pasti seperti ini. Sungguh terlalu. Ini kan jalan umum,” lanjut penulis jengkel.
Setelah melalui “jembatan penguji kesabaran”. Masih ada yang harus dilewati, “gang nggemeske”. Bukan pemandangan, atau jalanan di gang yang menyenangkan, tapi perilaku pengguna jalan di sana. Dari pengendara yang kurang sabaran, pejalan kaki/penyeberang yang asal menyeberang, parkiran motor yang nyelonong ke jalanan sehingga mengganggu kelancaran berlalu lalang. Seakan-akan setiap orang ingin dinomorsatukan. Yang penting urusan saya beres, kelar secepatnya, orang lain bisa menunggu.
Disadari maupun tidak, perkembangan zaman membawa dampak perubahan terhadap gaya hidup seseorang, salah satunya bila dilihat dari segi sosial. Orang menjadi lebih cuek pada lingkungan sekitar. Memang tidak salah juga memilih hidup secara individual seperti itu jika ingin menjaga privasi orang lain. Namun jangan sampai menghilangkan rasa empati pada sesama dong. Sebab, sebagai makhluk sosial kita perlu menunjukan rasa empati. Mengapa empati itu penting? Karena dapat membantu kita memahami perasaan orang lain sehingga dapat menanggapi situasi dengan tepat. Hal ini biasanya terkait perilaku sosial. Kalau dikaji lebih jauh, ternyata sikap empati mengandung banyak nilai positif di antaranya; kedisiplinan, kejujuran, rendah hati, kasih sayang, keramahan, kebaikan hati dan kebijaksanaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, dijelaskan bahwa empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Dilansir dari Psychology Today, empati merupakan pengalaman memahami pikiran, perasaan, dan kondisi orang lain dari sudut pandang mereka, bukan dari pikiran kita sendiri. Saat berempati, artinya kita mencoba membayangkan diri kita berada di posisi orang lain supaya memahami apa yang mereka rasakan atau alami. Empati menyebabkan kita memiliki perasaan untuk peduli atau bahkan membantu secara alami tanpa paksaan.
Menjadi seorang empati dan bisa mengekspresikannya bukan hal instan. Namun melalui proses panjang dan berkelanjutan serta dimulai dari diri sendiri, atas kemauan sendiri sehingga nantinya akan melekat pada diri. Seseorang dengan kemampuan berempati pada sesama dan lingkungan sekitar akan menumbuhkan sensitivitas sosial dalam dirinya. Sensitivitas sosial merupakan suatu kebutuhan yang hendaknya dimiliki oleh setiap orang khususnya generasi pada era teknologi seperti sekarang ini yang menjadikan seseorang terlalu sibuk dengan gawainya, sehingga kurang adanya kepekaan terhadap lingkungan sosial di sekitarnya.
Sebuah ungkapan mengatakan bahwa wilayah pengakuan seseorang ditentukan oleh wilayah berfikirnya, atau selama kita masih mau menyediakan diri kita sendiri untuk memikirkan orang lain maka di sanalah letak pengakuan diri kita akan terpatri. Namun sebaliknya jika kita hanya memikirkan diri kita sendiri maka jangan harap orang lain mau memikirkan diri kita dan menjadikan kita bagian dalam kehidupannya. Inilah substansi dari semangat kepedulian sosial (Social sensitivity) sebagai salah satu tangga mencapai kemenangan tertinggi.
Dalam membangun sensitivitas sosial sebagaimana dikemukakan Akhmad Muwafiq Saleh dalam bukunya Pendidikan Karakter dalam Perspektif Spiritual terdapat lima cara yang dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu: peka dan peduli, bersikap empati terhadap orang lain, jeli dan cermat, memiliki semangat memberi, serta zikir diri dan zikir sosial. Iman yang benar adalah keyakinan diri yang kuat dan kokoh di dalam hati seseorang (zikir diri) yang dapat mengarahkan pada sebuah tindakan tertentu yang terbaik (zikir sosial). Sehingga seseorang yang menyatakan beriman tentu ia akan berupaya kuat untuk mewujudkan keimanan atau keyakinannya untuk melakukan berbagai tindakan positif yang bermanfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri namun juga bagi orang lain karena mereka sadar bahwa itulah letak nilai kebaikan manusia.
Mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka melatih dan mengembangkannya perlu dilakukan sedini mungkin dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga dilanjutkan di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Mengasah empati bisa dilakukan dengan cara; belajar memahami perasaan orang lain, menawarkan dan memberikan bantuan sesuai kebutuhan orang yang dibantu, mengakui dan menghargai kekuatan, keberhasilan, dan perkembangan orang lain, menghargai keberagaman dalam bermasyarakat, dan belajar memahami emosi pribadi sehingga bisa memahami emosi orang lain, dengan tulus dan ikhlas dari dalam hati bukan karena ada tujuan tertentu itulah yan akan menumbuhkan rasa empati dan sensitivitas sosial.
Mengakhiri tulisan ini, Stephen Covey mengatakan “When you show deep empathy toward others, their defensive energy goes down, and positive energy replaces it. That’s when you can get more creative in solving problems.” Artinya, ketika kamu menunjukkan empati yang dalam terhadap orang lain, energi perlawanan mereka akan melemah, dan energi positif menggantikannya. Itu ketika kamu menjadi lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah. Semoga kita bisa melakukan. Amin.
*Penulis adalah Guru Bahasa Inggris SMP Islam Terpadu PAPB Semarang
Editor Bahasa: Mokhamad Malikul Alam
Ilustrasi Gambar: Mokhamad Malikul Alam