“Refleksi” Ajakan Menulis
Oleh: Usman Roin
Penulis adalah Humas Media di SMP IT PAPB & Mahasiswa Magister PAI UIN Walisongo Semarang
TERDAPAT-cerita singkat di suatu sekolah, “Ada pendidik” yang tidak membuat tulisan di salah satu program ‘guru menulis’, yang setiap minggunya akan di posting di website pribadi sekolah. Keberadaan –penulis– seakan-akan sia-sia saja, menggembar-gemborkan mereka agar suka menulis namun kesadaran untuk menulis juga tidak segera tercipta.
Berbagai kemungkinan alasan bisa saja terjadi. Hanya saja, kenapa sudah ada waktu yang relatif longgar, lebih lama, namun tidak ada tulisan yang dihasilkan. Alhasil, rasa untuk ber-positif thingking barangkali perlu penulis bangun, agar praduga penulis bukan yang negatif thingking. Namun, melihat sisi lain yang kiranya perlu ada toleransi agar kesadaran menulis bisa terbangun.
Berbagai kemudahan memang sudah penulis berikan, mulai dari naskah mentah hingga kemudian diedit menjadi naskah yang layak sebagai tulisan. Tentu pekerjaan ini bukanlah kerja yang mudah untuk dilakukan. Karena harus bersentuhan dengan originalitas ide orang lain yang kadang ngalor, ngidul tak tentu arahnya. Untuk kemudian diluruskan berbentuk ide utuh. Belum lagi bila kemudian ada penjiplakan secara keseluruhan sumber dari internet, lalu di “Aku” menjadi karya pribadi. Tentu ini adalah plagiasi pragmatis yang dalam ranah Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, bisa dipidana dengan dakwaan plagiarisme.
Konten tulisan
Bicara konten tulisan, sebenarnya banyak potensi yang bisa dinarasikan menjadi buah karya tulis. Mulai dari pengamatan berita-berita yang ber-seliweran setiap hari baik di koran, majalah, televisi, hingga media online, untuk kemudian ditanggapi secara responsif dengan pendekatan akademik yang dimiliki. Bila masih sulit, maka cari yang dekat dengan keseharian profesi kita, misal tentang pembelajaran yang kita lakukan. Contoh identifikasi ini agar kita –sebagai pendidik– jangan sampai berniat tidak ingin berbagi atau mensedekahkan pengetahuan yang kita punya kepada pembaca. Padahal sebagaiman Hadis Rasul, “Ilmu yang bermanfaat” adalah salah satu amal jariah yang pahalanya tak terhenti walau kita sudah tiada.
Disisi lain, untuk mengembangkan sekolah yang maju, sebagai leader –Kepsek– bagi penulis tidak cocok bila memilih pegawai yang tak memiliki semangat yang sama, yakni memajukan lembaga. Sebaliknya, bagi calon pegawai atau yang sudah berstatus sebagai pegawai, juga tidak cocok bila masuk/tetap bertahan dalam lembaga yang punya spirit dan prinsip inovatif serta mengedepankan pengembangan. Analisanya sederhana, satu sisi tidak akan pernah sampai pengembangan kelembagaan secara dinamis, disisi lain keberadaan pendidik hanya akan menjadi benalu pengembangan lembaga pendidikan.
Lalu bagaimana menjembataninya, bila sudah terlanjur secara mapan ada pegawai yang dimiliki lembaga pendidikan, maka In House Training (IHT) adalah salah satu cara bagus untuk meningkatkan kompetensi pendidik. Catatannya, materi IHT tak berhenti pasca training, namun butuh upaya pribadi pendidik untuk coba melakukannya. Tidak lain agar ada kesesuaian antara idealitas dan realitas. Jika tidak dilakukan, itu berarti ada yang salah dengan niatan menjadi pendidik –dus sebatas mengajar– dan tak memiliki spirit mengembangkan kompetensi diri. Padahal dalam logika sederhana, lembaga saja memperhatikan bagaimana mengembangkan potensi pendidiknya, sedangkan peribadi pendidik lagi-lagi tidak mau berkembang.
Alternatif lainnya, bisa dengan mempertegas dalam sebuah aturan. Bahwa menulis adalah bagian dari pengembangan kompetensi profesionalisme pendidik. Maka konsekuensinya, perlu punishment sebagai akibat tidak ikut berperanserta melaksanakan program kepenulisan. Bisa dengan potong gaji, atau peringataan secara berkala. Karena tidak bisa dipungkiri, literasi yang dibangun secara apik –lewat kecerdasan menulis– justru akan membedakan identitas lembaga yang ada pada umumnya. Lebih punya spesifikasi pada bagaimana mengasah potensi berpikir kreatif melalui gagasan yang tertuang dalam tulisan. Juga bisa menjadi contoh, dan bisa diikutkan perlombaan literasi baik nasional atau internasional.
Selain itu, kebermanfaatannya juga bisa terlihat sampai kapanpun, karena buahnya mencetak pendidik dan peserta didik terampil berliterasi. Dan yang terpenting, memberikan bekal survive dimanapun, kapanpun, karena mempunyai kecerdasan linguistik yang sudah ditanamkan secara intensif selama menjadi pendidik.
Teringat nasihat kecil, Profesor Mansyur yang mengampu Mata Kuliah ‘Sejarah Perkembangan Islam Nusantara’ mengatakan, “Tetap menulislah walau tidak satupun orang melihat tulisanmu”. Nasihat kecil ini bagi penulis adalah semangat jangan karena pengen dilihat oleh orang lain/pimpinan, kita melakukan pekerjaan. Melainkan naluri kesadaran, keihlasan dan kebutuhan untuk membangun diri, itulah pondasi niat yang perlu dibentuk agar buah pahalanya tak sia-sia karena penyakit hati. Maka tidak salah bila Rasul pun bersabda, bahwa perang terbesar adalah melawan diri kita sendiri.
So, membekali diri dengan kompetensi lain –menulis– adalah bagian dari memerangi diri, agar kebodohan tidak bertambah, ketidakpercayaan dinonaktifkan, bangkit dan menampakkan bahwa orang Islam punya segudang kecerdasan yang diwariskan secara turun temuruan yakni tradisi menulis. Karena tanpa tulisan –sebagai hasil karya– kita tentu akan buta dan tergolong sebagai umat jahiliyah di abad modern. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi.
Akhirnya, memilih menulis untuk meningkatkan kompetensi pribadi adalah pilihan cerdas, karena keberadaan kita jangan sama dengan lainnya. (hkl/man/3/18)