Sukses Menghadapi Tantangan Hidup

Oleh: Muhammad Mudhofar *
SESUNGGUHNYA-Kami telah menciptakan manusia berada dalam (keadaan) susah-payah (Al-Balad [90]: 4). Allah Swt memberi ajaran melalui Nabi Muhammad Saw tentang bagaimana cara menghadapi kesulitan itu. Jadi, kita diberi kesulitan lalu kita dibekali ajaran untuk menghadapi kesulitan tersebut. Selain itu, kita juga diberi peralatan yang cukup untuk menghadapi kesulitan. Kita diberi otak yang bisa dipakai berpikir untuk mengatasi masalah. Kita diberi nafsu atau kehendak untuk membuat karsa atau kreasi. Kita diberi hati yang dapat menimbang, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.
Dalam hati, ada nurani yang tidak bisa dibohongi oleh nafsu. Berbeda dengan otak yang masih sering dibohongi oleh nafsu. Buktinya, banyak orang pinter tapi keblinger. Kalau nurani, itu steril (jernih) mintalah fatwa pada hatimu (H.R. Ahmad), jika kita merenung, lalu bingung, maka mintalah fatwa kepada hati nurani, karena hati nurani steril dari nasfu. Coba tanya hati nurani, baik atau tidak baik, pantas atau tidak pantas. Jika diibaratkan dengan pesawat, nurani itu sebagai black box (kotak hitam) yang tetap utuh, sekalipun badan pesawat terbakar, dan kotak tersebut merekam apa yang terjadi, tanpa bisa dibohongi.
Kita juga diberi alat-alat ikhtiar lain, seperti panca indera, badan, tangan, kaki, dan kesehatan. Semua disiapkan untuk menghadapi kesulitan hidup. Jika semua pemberian Allah Swt tersebut diringkas, maka menjadi dua hal yang penting. Pertama, ikhtiar. Kedua, doa. Ikhtiar adalah usaha lahiriah. Doa adalah usaha batiniah atau permohonan melalui hati. Sehingga sebenarnya, usaha dan doa itu satu hal, dua sisi. Istilahnya, two side of one coin, dua sisi dari satu mata uang. Ikhtiar tidak akan lengkap tanpa doa, dan doa tidak bisa jalan tanpa ikhtiar. Oleh sebab itu, cara menghadapi masalah yang sedang dihadapai sekarang adalah bagaimana meningkatkan kualitas ikhtiar dan kualitas doa. Di sinilah kunci sukses itu.
Kualitas ikhtiar kita, tentu dimulai dari ilmu pengetahuan. Orang yang berilmu akan melakukan ikhtiar lebih baik. Kemudian, ilmu itu harus dipraktikkan terus-menerus dalam mengatasi kesulitan, sehingga menjadi kaya pengalaman (experience). Pengalaman di sini bukan hanya pengalaman mengatasi kesulitan, melainkan juga pengalaman pergaulan. Bagi orang yang masih muda, belum mengalami hidup yang sesungguhnya, baru mengalami muqaddimah (pendahuluan) hidup. Hidup yang sesungguhnya itu kalau sudah berkeluarga, kita akan merasakan betapa sulitnya mengarungi hidup. Ketika pacaran, masih bisa bersenang-senang, namun kalau sudah menikah, senangnya paling lama enam bulan. Setelah itu, akan merasakan tanggung jawab sebagai suami yang sesungguhnya. Pada saat itulah akan terasa bagaimana menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.
Jika masih muda, jangan takut kesulitan, tetapi lakukanlah latihan menghadapi kesulitan dari hal-hal yang kecil sampai hal-hal yang besar. Anak-anak muda yang dalam kehidupannya penuh tantangan, kemudian dia berupaya menanggulanginya, insya allah, dia akan sukses dalam kehidupan yang sesungguhnya. Kalau masih muda, maunya enak saja, mau instan, dia akan kaget ketika hidup yang sesungguhnya, karena hidup yang sesungguhnya tidak ada yang instan atau glamour. Bintang film itu terlihat glamour kalau di sinetron, namun kalau dalam hidup yang sesungguhnya, tidak se-glamour sinetronnya.
Setelah membekali diri dengan ilmu dan pengalaman. Bekal ketiga, adalah mencoba melakukan kreasi untuk pengembangan diri. Orang tidak mungkin bersikap kreatif, kalau dia tidak aktif. Jadi, pengembangan diri yang aktif akan mendatangkan kreasi, lalu dari kreasi akan melahirkan produk-produk yang kelak menjadi prestasi. Oleh sebab itu, anak muda yang prestisius adalah anak muda yang berilmu, berpengalaman, aktif, kreatif dan produktif. Rata-rata bangsa atau suku bangsa yang sukses, pasti ditempa oleh hal-hal yang tadi saya katakan. Selanjutnya, karena dunia ini isinya bukan hanya hal-hal yang bisa diikhtiarkan saja, melainkan ada hal-hal yang lebih besar daripada dimensi ikhtiar, maka diperlukan doa. Misalnya, kita tidak bisa mengatur hidup kita sendiri, umur kita berapa, pasangan hidup kita nanti siapa. Semua masih “gelap” (belum jelas). Ini contoh hal-hal yang tidak bisa didesain, melainkan by accident (tiba-tiba, mufajaah).
Dalam kehidupan ada dua masalah. Pertama, masalah yang bisa direncanakan. Kedua, masalah yang ada dengan sendirinya. Maunya tidak sakit, tetapi sakit. Maunya duit gaji utuh, hanya untuk makan, ternyata untuk bayar rumah sakit. Mau kita selamat, anak kita keserempet motor. Jadi, di dunia ini sangat banyak masalah yang bersifat aksiden (tiba-tiba), sehingga harus ada antisipasinya, yaitu doa. Doa itu diperintahkan oleh Allah Swt.
Doa artinya minta, sedangkan zikir artinya ingat. Biasanya, ingat kepada Allah Swt dulu, baru minta kepada-Nya, sehingga ada zikir, lalu ditutup doa. Perhatikan baik-baik firman Allah Swt: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku ijabahi (Al-Mu’min [40]: 60). Artinya, karena doa itu perintah Allah Swt, terlepas dikabulkan atau tidak, berdoa sudah mendapat pahala.”
Nah, setelah minta (doa), Allah Swt akan menjawab. Arti mengijabahi adalah menjawab, menuruti atau memberi. Tapi ingat, yang memberi adalah Allah Swt, bukan kita. Allah SWT berjanji memberi, cuma kapan memberi, terserah yang memberi, bukan yang meminta, bagaimana cara memberi maupun bentuk pemberiannya, semua terserah Allah SWT, bukan kita. Jadi, ketika berdoa meminta sesuatu, lalu tidak segera terkabul, jangan merasa tidak terkabul, siapa tahu kalau doa itu belum terkabul, siapa tahu kalau bentuk pengabulannya tidak seperti yang kita bayangkan, siapa tahu apa yang kita minta, ditukar oleh Allah Swt dengan sesuatu yang lebih baik, bahkan kalaupun tidak diberi, itu merupakan Rahmat Allah Swt, sesuai kalam hikmah: “Kalau Allah Swt tidak memberi, padahal kita sudah meminta, maka tidak adanya pemberian itulah pemberian-Nya.”
Dalam hal ini, keikhlasan orang berdoa sangat penting. Ini bedanya berdoa dengan narget (memalak), “Ya Allah, mudah-mudahan saya jadi orang kaya, awas kalau tidak diberi”. Demikian juga harus ada keikhlasan bahwa kita itu meminta. Sehingga kapan diberi dan diberi apa, itu semua terserah Allah Swt. Kadang-kadang permintaan kita diganti oleh Allah Swt. Misalnya, orang berdoa minta kaya, tidak dikasih kaya, tapi dikasih ilmu. Ada juga orang berdoa minta pangkat, tidak dikasih, tapi anaknya yang berpangkat. Ketika berdoa itu yakin diberi, tapi jangan mengatur pemberian. Kalau kita mengaturnya, maka akan stres. Misalnya, orang berdoa: “Mudah-mudahan saya bisa ke luar negeri”. Setelah ditunggu beberapa tahun, tidak juga ke luar negeri. Kalau tidak memiliki kesabaran, dia akan stres.
Selain ikhlas, kita harus ridha terhadap ketentuan Allah Swt (al-ridha bi al-Qadha’). Tapi sekali-kali jangan diartikan, ridha dengan ketentuan Allah Swt tanpa berikhtiar dan berdoa. Maksudnya adalah, tidak menyalahkan Allah Swt, tetapi selalu ikhtiar dan berdoa. Dalam al-Qur’an disebutkan, Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (Yusuf [12]: 87). Jadi, jangan berputus asa terhadap pemberian dan pertolongan Allah Swt, karena orang yang pantas berputus asa adalah orang yang ingkar dan kafir kepada Allah Swt.
Hakikat Sabar
Bersama-sama dengan doa dan ikhtiar, diperlukan kesabaran. Yaitu kekuatan untuk menerima tenggang waktu yang ditentukan Allah Swt, dan menerima alternatif yang dipilihkan oleh Allah Swt. Oleh sebab itu, setelah meminta sesuatu kepada Allah Swt, Alquran memerintahkan kita untuk terus menjaga doa dengan sabar dan salat: “Dan minta tolonglah dengan sabar dan salat.” (Al-Baqarah [2]: 45).
Kenapa harus disertai sabar? Karena pengabulan doa itu terkadang tidak instan, bisa 7 (tujuh) tahun baru dikasih, kadang 15 tahun baru dikasih, bahkan sampai mati tidak dikasih, tapi dikasihkan kepada anaknya. Oleh sebab itu, banyak anak yatim hidup bahagia ketika menjadi orang dewasa, dan banyak orang dewasa yang rusak, padahal saat masih kecil ditunggui orangtuanya sendiri. Jadi, mintalah pertolongan kepada Allah Swt dalam mengatasi kehidupan ini dengan sabar dan shalat.
Sabar itu memiliki dua pengertian. Pertama, sabar dalam waktu. Kedua, sabar dalam kesulitan. Sabar dalam waktu berarti sabar menanti, sedangkan sabar dalam kesulitan berarti memiliki ketahanan saat mendapatkan bencana kehidupan atau musibah. Artinya, daya ruhaninya melampaui musibah yang ada, sehingga dia bisa menahan. Dengan demikian, jelas sudah tugas hidup kita saat menghadapi masalah, yaitu berusaha keras (ikhtiar), terus minta kepada Allah Swt (berdoa), dan mohon pertolongan (isti’anah) kepada Allah Swt dengan disertai kesabaran. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, pengertian shalat pada ayat di atas adalah shalat sunah. Kalau shalat wajib memang sudah kewajiban. Jika tidak dilakukan, berarti dosa. Sedangkan shalat sunah adalah untuk pengembangan. Bentuknya bisa shalat sunah rawatib (qabliyah-ba’diyah), shalat malam, shalat duha, dan sebagainya.
Sehingga kalau kita sampai tingkat kejenuhan, mendekati keputus-asaan, cepat-cepat salat. Kalau anak muda, masalah bisa berupa telatnya kiriman uang dari orangtua, mengejar cewek, tapi yang dikejar tidak mau, lalu menjadi stres, akhirnya jadi penyair, ngarang surat dan mendadak jadi pujangga. Padahal tuntunan agama adalah mendirikan shalat. Dengan shalat, akan terjadi penurunan ketegangan hidup. Kalau tingkat yang dihadapi sangat berat, maka berpuasa. Puasa itu paling jitu. Puasa berfungsi sebagai ikhtiar menembus sesuatu yang tidak tertembus, dan melindungi (junnah) dengan perlindungan yang kokoh dari bencana yang tidak mampu kita atasi sendiri. Jika terkena fitnah, gosip, ancaman, dan sebagainya, maka berpuasalah. Puasa yang dimaksud di sini adalah puasa sunnah.
Dalam periode hidup, kita tidak tahu sekali atau banyak kali mengalami goncangan. Mudah-mudahan sekali saja. Tidak ada orang yang lolos dari goncangan yang sangat mengkhawatirkan, semua orang pasti kena, termasuk Nabi Muhammad Saw. Beliau pernah diancam dibunuh. Oleh sebab itu, apabila suatu ketika kita terpepet pada sesuatu, setelah mengerahkan seluruh daya-upaya tetap tidak bisa berhasil, maka pesan saya, berpuasalah. Mengatasi sesuatu yang menurut ukuran tidak teratasi, menembus sesuatu yang menurut sesuatu tidak tertembus, melindungi diri yang menurut ukuran tidak selamat, berpuasalah. Perlu diingat bahwa shalat jangan dikira ringan, karena lanjutan ayat di atas adalah, “Dan sesungguhnya shalat itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu,” (Al-Baqarah [2]: 45). Maksudnya, shalat itu sangat berat, kecuali bagi orang yang hatinya sudah mapan, sehingga dia bisa konsentrasi dalam shalatnya.
Selanjutnya dibutuhkan sikap istikamah. Istikamah itu, sudah diberi maupun belum diberi oleh Allah Swt, terus saja konsisten. Istiqamah bermakna dua, “lurus dan terus”. Lurus itu jurusannya, terus itu tidak berhenti atau rutin. Dengan kata lain, istikamah itu ajeg (selalu) dan jejeg (lurus). Istikamah merupakan sebuah kewajiban, karena tidak ada jaminan Allah Swt akan memberikan permohonan kita secara kontan dan instan. Rata-rata pemberian-Nya justru tidak kontan maupun instan. Jarak antara doa dengan terkabulnya doa ini harus diisi dengan sikap istiqamah. Mudah-mudahan ibadah kita ini diridhai oleh Allah, mudah mudahan seluruh amal lahiriyah kita diberikan karunia oleh Allah. Semoga Allah Swt melindungi kita dan keluarga kita semua. Amin ya rabbal alamin.
* Penulis adalah Guru Bahasa Arab SMP Islam Terpadu PAPB Semarang.
Editor Bahasa: Tri Wahyuni
Ilustrator Gambar: Mokhamad Malikul Alam