Upaya Melestarikan Dialeg Bahasa Daerah

Oleh : Riya Pramesti, S.S., S.Pd *
BAHASA-Jawa merupakan bahasa yang adiluhung (bernilai tinggi). Sebagai bukti mari kita telusuri secara seksama jika bahasa Jawa mempunyai unggah-ungguh (tata cara/kaidah/aturan bertutur kata) dan banyak sekali nasihat-nasihat atau petuah yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan adanya unggah-ungguh tersebut menjadikan Bahasa Jawa berbeda dengan bahasa lainnya. Penuh sopan-santun, tata krama, saling menghargai, selalu berhati-hati, mawas diri, dan semua tuntunan hidup bermasyarakat, berbangsa, bahkan bernegara tidak bisa lepas dari ajaran Bahasa Jawa yang bisa kita teladani.
Perubahan zaman yang semakin canggih dengan teknologi dan globalisasi menjadikan nilai-nilai luhur pembelajaran dalam Bahasa Jawa semakin luntur. Terbukti, dewasa ini banyak masyarakat Jawa yang lebih bangga berinteraksi, bergaul, dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Inggris. Maka tidak heran jika para generasi muda masyarakat Jawa banyak yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku. Penulis contohkan sedikit pengalaman sebagai gambaran mulai lunturnya kecintaan pemuda masyarakat Jawa terhadap bahasa daerahnya.
Waktu itu penulis hendak berkunjung ke sanak saudara di Surabaya. Penulis naik bus jurusan Semarang-Surabaya. Sesampai di Kecamatan Juwana-Pati, ada dua orang pemuda laki-laki dan perempuan yang naik serta rombongan kami. Jika dilihat dari penampilannya, mereka adalah mahasiswa yang menuntut ilmu di Surabaya dan atau sekitarnya. Berhubung bus yang kami tumpangi menunggu penumpang lainnya maka agak lama juga kami menunggu. Anak perempuan berbicara khas dengan dialeg bahasa Patinya, “Iki lek endi leh supire kok odak mangkat-mangkat? Selak panas ki lho.” (Mana sih supirnya kok tidak berangkat-berangkat? Keburu panas ini nanti.”) Teman laki-lakinya menjawab, “Sek go sabar, ngenteni penumpang ngguri iku lho. Sedhiluk engkas dak mangkata.” (Sebentar, bersabarlah, menunggu penumpang yang di belakang itu lho. Sebentar lagi pasti akan berangkat.”)
Penulis tersenyum dalam hati. Wah luar biasa. Ternyata masih banyak pengguna-pengguna dialeg daerah setempat yang bangga menggunakan dialeg khas kedaerahannya walaupun sudah menjadi mahasiswa di kota besar. Apalagi ketika kondektur bus meminta ongkos, “Karcis, Mas, Mbak.” Mereka menjawab dengan santun, “Sekedhap Pak, terminal Surabaya nggih. Kalih, pinten? (Sebentar Pak, terminal Surabaya ya. Dua berapa?”) Begitu seterusnya terjadi percakapan antara kondektur bus dan dua pemuda daerah tersebut. Sampai akhirnya sang pemuda berkata, “Matur nuwun” (terima kasih).
Sungguh kental sekali dengan budaya sopan santun yang mereka terapkan. Walaupun kondektur bus bukanlah seorang yang besar atau terkenal namun penghormatan mereka kepada orang yang lebih tua sangat patut ditiru. Mendengar kedua pemuda tersebut sangat fasih berbahasa krama serta sopan tindak-tanduknya, membuat penulis merasa senang. Betapa tidak? Adanya penutur-penutur Bahasa Jawa yang masih mempertahannkan tuturan lengkap dengan dialegnya maka sebagai bagian dari segelintir orang yang peduli terhadap Bahasa Jawa tidak perlu risau untuk kelestarian bahasa tersebut.
Namun ternyata tidak semanis yang penulis kira, ketika mendengar pertanyaan, “Her, lha hpku mbok taruh ning mana?” (Her, hpku kau taruh di mana?) Gadis itupun menjawab, “Tadi ki takselehke ning sak tas sing depan ya. Coba dicari sik!” (Tadi kuletakkan di saku tas bagian depan ya. Coba dicari dulu). Spontan penulis menoleh dan berkata dalam hati, “Lho bahasanya kok sudah berubah. Dialek Patinya sudah bercampur dengan Bahasa Indonesia.” Dan lebih terkejut lagi ketika sampai di terminal Bungurasih Surabaya keduanya saling berpesan, “Jangan lupa nanti aku dikabarin ya kalau udah ampe kost!” dan jawabannya, “Ok, don’t worry and see you tomorrow sister.” Sungguh tidak bisa dipercaya.
Keadaan tersebut membuat penulis merasa kecewa. Harapan akan lestarinya bahasa daerah lengkap dengan kekayaan dialegnya seketika lenyap. Jika benar-benar mati Bahasa Jawa nantinya sudah pasti akan kacau juga negara ini karena kehilangan pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Atau bahkan bisa membuat negara ini semakin terbelakang karena meninggalkan bahasa, sebagai salah satu unsur kekayaan budaya bangsa yang sudah sangat terkenal di manca negara. Maka sebelum Bahasa Jawa punah, sebelum negara ini porak poranda mari kita selalu berupaya agar kekayaaan budaya Indonesia tetap lestari keberadaaanya yang mana salah satu unsurnya berasal dari kekayaan dialeg bahasa daerah yang sudah kita punya dan tersebar di seluruh pelosok negeri ini dengan cara: Pertama, sebagai generasi muda masyarakat Jawa jangan malu menggunakan dialeg yang kita punya.
Kedua, sebagai generasi muda kita jangan malu jika apa yang kita upaykan dalam belajar Bahasa Jawa karma salah atau kurang tepat (karena bisa dipelajari dan diperbaiki). Ketiga, sebagai pemuda masyarakat Jawa mau tidak mau harus dipaksa untuk terus melestarikan dialeg daerah dan berbahasa karma karena dari terpaksa lama-kelamaan akan bisa karena terbiasa. Keempat, sebagai masyaarakat Jawa harus senantiasa mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa dan budaya yang kita punya dari nenek moyang bangsa Indonesia.
Dengan demikian, kelestarian dan kelangsungan hidup Bahasa Jawa khusunya dengan dialeg daerah tetap abadi sepanjang masa dan kita tidak menyandang predikat “Wong Jawa ilang Jawane” (Orang Jawa tapi hilang ruh Jawanya) yang terkenal dengan nilai tuntunannya yang berkwalitas.
*Penulis adalah guru Bahasa Jawa SMP Islam Terpadu PAPB Semarang.
Editor Bahasa: Tri Wahyuni
Ilustrasi Gambar: Mokhamad Malikul Alam
Tag:Bahasa Jawa, Jawa